Rabu, 24 Oktober 2012

Konstruksi Pendidikan Karakter Di Perguruan Tinggi Agama Islam


Konstruksi Pendidikan Karakter Di Perguruan Tinggi Agama  Islam
(Sebuah Konstribusi Konsep Ta’dib Menurut Syed Naquib Al-Attas)
Oleh : Edi Purwanto[1]

A.    Pendahuluan

Apa yang terjadi dalam dunia islam ?, Apa yang menyebabkan kemunduran umat islam?, langkah apa yang dapat membangkitkan  keterpurukan yang melanda dunia islam. Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi kegelisahan para ulama dan cendekiawan muslim dunia. Dalam upaya merumuskan apa yang dapat dilakukan oleh para ulama dan cendekiawan muslim terlahirlah sebuah konferensi organisasi pendidikan islam yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz University Mekah pada bulan maret 1977. Dalam pertemuan ini para pemikir islam mencoba belajar, menganalisa permasalahan pendidikan islam dan melahirkan sebuah metode yang akan diimplementasikan dalam pendidikan islam, serta pembenahan dan penyempurnaan sistem pendidikan islam di seluruh dunia yang terjadi akibat salah satunya adanya dikotomi system pendidikan islam dan sekuler .[2]
Pergeseran nilai pendidikan dalam islam dewasa ini menjadi boomerang dalam dunia pendidikan islam khususnya dalam akademik perguruan tinggi. Individu muslim yang seharusnya beretika, dan bermoral kini telah mengalami demoralisasi atas apa yang dilahirkan dari pendidikan. Moral atau adab sebagai cerminan kaum intelektual dan agamis semakin merosot dalam masyarakat kita, bagaimana seorang menghargai kepada yang lebih tua, anak didik menghargai pendidiknya, dan bagaimana pengambilan sebuah ilmu dalam dunia pendidikan. Dalam pandangan ini, salah satu tokoh pemikir islam Syed Naquib al-Attas berpendapat bahwa kepribadian muslim yang sudah tergeser oleh warna corak dan budaya peradaban barat. Apa yang telah disebarkan oleh barat adalah pengetahuan yang disajikan dan dibawakan itu berupa pengetahuan yang semu yang dilebur secara halus dan sejati , sehingga manusia mengambilnya dengan cara tidak sadar seakan menerima pengetahuan yang sejati tanpa diseleksi terlebih dahulu[3].
Menurut Dimyati, bangsa Indonesia akhir-akhir ini mengalami patologi (penyakit) sosial yang kronis. Sebagian masyarakatnya tercerabut dari peradaban ketimuran yang terkenal dengan wataknya yang santun, toleran, bermoral, dan beragama. Tindak kekerasan, korupsi, manipulasi, konflik, tingginya kenakalan dan kurangnya sikap sopan santun para remaja, berbohong, menyontek, dan aktivitas negatif lainnya sudah mulai menjadi hal yang biasa dalam masyarakat, termasuk pula dalam lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia.[4]
Penyebab terjadinya dekadensi moral seperti yang disebutkan di atas, antara lain disebabkan pendidikan karakter bangsa yang masih “amburadul”, diperparah lagi oleh kurangnya perhatian para pendidik terhadap pendidikan dan perkembangan karakter peserta didik. Pendidikan di Indonesia saat ini lebih mengedepankan penguasaan aspek keilmuan ketimbang aspek pendidikan dan pembinaan karakter. Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang didapatkan dalam pendidikan karakter, moral atau etika di lembaga-lembaga pendidikan saat ini agak terabaikan.
Pendidikan islam dalam perguruan tinggi seakan-akan telah kehilangan akar karakternya sebagi sebuah lembaga yang menghasilkan ilmuan-ilmuan lulusan yang berkarakter. Bersamaan itu pendidikan karakter menjadi sorotan masyarakat sebagai cara pandang sebuah bangsa dan Negara. Pendidikan karakter yang dicanagngkan oleh pemerintah yang dikemas dalam dunia pendidikan mencoba menciptakan potensi berbudaya dan membudayakan alam lingkungan, manusia kerajaan dunia  yang makmur, dinamis, harmonis dan lestari. Pada hakekatnya karakter  berfungsi mengembangkan kemampuan, membentuk watak serta peradaban yang bermartabat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa[5]. Maka seluruh sistem pendidikan harus diarahkan  kepada konseptual filosofis yang di arahkan berkaitan seputar manusia, individu yang bijak yang mengakui dan mengenali tata tertib realitas segala sesuatu termasuk posisi tuhan dalam realitas , sehingga hasilnya mereka akan selalu beramal sesuai kaidah itu sendiri.[6]langkah apa yang harus dilakukan lembaga pendidikan dalam krisis ini?
 Untuk menjawab tantangan krisis ilmu di era globalisasi tersebut, maka al-Attas menggagas islamisasi pengetahuan yang mana pendidikan islam harus mampu mencetak manusia yang beradab. Konsep ta’dib  al-Attas yang akan diimplementasikan dalam sebuah pendidikan untuk memberikan kontribusi gagasan pendidikan islam sekarang ini yang akan menguasai ilmu-ilmu secara integral dan berkarakteristik islami.[7]

B.     Pendidikan Islam dalam Karakter
Dalam perspektif Islam, karakter (akhlak) menjadi perhatian yang tinggi. Dalam hadits di sebutkan “Sesungguhnya aku diutus (menjadi Rasul) semata mata untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”,[8] diutusnya Rasulullah Muhammad Saw antara lain adalah untuk memberangus perilaku jahilliyyah umat manusia, membangun peradaban manusia dengan karakter atau akhlak yang mulia. Tingakah laku dalam al Quran dan hadist lebih menekankan perbuatan yang digerakkan oleh kerangka moral ( akhlak) tertentu, dengn kata lain pandangan  al Quran dan hadits terhadap tingkah laku (behavior) yang telah diberi persyaratan (conditioned) nilai-nilai tertentu, bukan tingkahlaku tingkat rendah yang ditentukan oleh pengaruh  lingkungan tetapi telah dididik dan dibudayakan dengan nilai-nilai (values)[9].
Di negara Indonesia, Pembangunan karakter merupakan perwujudan amanat Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan yang berkembang saat ini, diantaranya: Bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa; ancaman disintegrasi bangsa; dan melemahnya kemandirian bangsa. Untuk itu, Pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional. Semangat itu secara implisit ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2015, di mana pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.[10]
Pembangunan karakter generasi bangsa menjadi tujuan Pendidikan Nasional, sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan nasional adalah sebagai berikut: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung-jawab. Dengan demikian, jelas bahwa pendidikan di Indonesia pada hakekatnya adalah mengembangkan potensi diri peserta didik menjadi mampu dengan dilandasi keimanan dan ketaqwaan, kepribadian, akhlak mulia, dan kemandirian. Oleh karena itu, lembaga pendidikan, termasuk  Perguruan Tinggi mempunyai peran yang strategis dalam membangun karakter peserta didik agar menjadi generasi bangsa yang unggul dan berkarakter.
Kata karakter berarti: Bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak.[11] Dari sisi terminologi, istilah karakter didefinisikan dengan berbagai formulasi kalimat yang berbeda-beda, namun substansinya hampir sama. Salah satu definisi karakter adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Suyanto yang menyatakan bahwa karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara.[12]
Karakter merupakan sebuah keadaan jiwa, keadaan jiwa yang bertindak tanpa dipikir atau dipertimbangkan. Keadaan yang bersifat alamiah maupun kebiasaan, misalnya orang mudah marah karena suatu hal yang kecil. Beberapa cendekiawan mengatakan bahwa karakter itu bersifat alami yang dapat berubah cepat atau lambat melalui disiplin serta nasihat-nasihat mulia. Sebagian berpendapat bahwa karakter itu tidak alami bagi manusia, pendapat ini menyebabkan tidak berlakunya fakultas nalar, tertolaknya semua bentuk norma dan bimbingan kecenderungan tunduknya manusia kepada kekejaman dan kelalaian, serta banyaknya anak dan remaja berkembang liar tanpa nasihat dan pendidikan.[13]
Menurut pandangan Galen dari sisi alami manusia ada yang baik, ada yang buruk dan adaya yang tengah-tengah. Dalam hal ini manusia secara alami baik menjadi buruk karena pengaruh ajaran, maka manusia dipengaruhi dari dalam dirinya sendiri, atau orang lain yang mengajarkan keburukan. Kalau begitu tidak secara alami manusiaitu baik.  Sebaliknya alami manusia buruk menjadi baik berarti dlam dirinya ada kecondongan kepada kejahatan saja, sehingga secara alami bermoral buruk, karena hal ini nalar keburukan mengalahkan kebaikan manusia yang membuat manusia secara alami buruk.[14]
Aristoteles dalam bukunya  Book On Ethics  mengatakan orang buruk bisa menjadi baik melalui pendidikan. Namun tidak pasti, bahwa  nasihat yang berulang ulang dan disiplin serta bimbingan yang baik akan melahirkan hasil yang berbeda-beda pada manusia. Ada sebagian yang tanggap dan menerimanya, ada sebagian juga tanggap namun tidak menerimanya.[15] Dalam proses secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai yang menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat.[16]
Dari penjelasan di atas perlunya pendidikan, manfaatnya dan pengaruhnya bagi remaja dan anak-anak dari syariat yang benar sebagai petunjuk Allah kepada makhluk-Nya. Tingakatan perbaikan karakter dalam bahasa arab (akhlak atau adab) ini dari tingkatan manusia-manusia yang baik, buruk tergantung dari tingkatan manusia dalam menerima tatanan moral. Tingkatan kondisi, kesiapan dan penerapannya seperti anak-anak tidak menutup-nutupi dengan sengaja dan sadar seperti ynag dilakukan orang dewasa, ada yang lunak ada yang keras dan sulit sehinga mereka mengikuti apa yang menjadi tabiatnya.
Melihat faktor diatas yang dapat meluruskan karakter remaja adalah dengan syariat agama, syariat yang mengajarkan manusia untuk senantiasa berperilaku baik, kearifan, kebajikan, dan mencapai kebahagiaan melalui berfikir dan nalar yang akurat. Karakter yang mengajarkan kearah pembinaan tingkah laku manusia baik sesuai adab islam.[17] Adab islam yang merupakan sebuah aturan yang mencakup semua aspek perilaku manusia yang integral melengkapii satu samalainnya dalam bagian-bagian Islam. Salah satu aspek adabul islam adalah moralitas, suatu  pondasi  kepercayaan diri dan bangsa. Sebagaimana yang kita yakini korupsi dan immoralitas merupakan penyebab utama keruntuhan dan disintegrasi bangsa.[18]
Begitu juga kekosongan nilai-nilai relegius akan mengakibatkan manusia bebas kendali dan berbuat sekehendaknya, yang berimplikasi tumbuhnya nilai egoistis , sombong, dan angkuh dalam diri manusia dan berakibat menjadi cikal bakal mafsadah di muka bumi.[19]
Dewasa ini pendidikan umat islam telah dipengaruhi berbagai etika budaya barat dan timur yang membingungkan menjadi boomerang terciptanya dismoralitas dan ketidakaturan kehidupan umat, Hal ini disebabkan pendidikan islam tidak lagi memiliki wawasan islam yang dinamis. Oleh karena itu sistem pendidikan islam harus kembali pada ruh nilai-nilai ilahiyah sebagai sistem moral dan kepribadian pendidikan islam.[20]      
Pendidikan karakter sebagai upaya pengembangan pendidikan agar peserta didik mengenal dan  menerima nilai-nilai budaya dan karakter bangsa sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri. Dengan prinsip ini, peserta didik belajar melalui proses berpikir, bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan kegiatan sosial dan mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk sosial.
Di Indonesia, dimana agama diajarkan di sekolah-sekolah negeri maupun swasta, kelihatannya pendidikan moral masih belum berhasil dilihat dari tingkat kejahatan dan demoralisasi masyarakat yang tampak meningkat pada periode ini. Dilihat dari esensinya seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama, tampaknya agama diajarkan pada dasar-dasar agama yang bersifat verbal, sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum sepenuhnya disampaikan. Dilihat dari metode pendidikan pun tampaknya terjadi kelemahan karena metode pendidikan yang disampaikan difokuskan pada pendekatan otak kiri (kognitif), yaitu hanya mewajibkan peserta didik untuk mengetahui dan menghafal konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya.
Selain itu tidak dilakukan praktek perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran moral bagi peserta didik. Karena itu tidaklah aneh jika dijumpai banyak sekali ketidakonsistenan antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang diterapkan anak di luar sekolah.[21]

C.    Perguruan Tinggi  Islam Berkarakter
Perguruan tinggi islam  sebagaimana institusi pendidikan pada umumnya adalah sebuah investasi besar memiliki nilai strategis didalam membentuk dan mengembangkaan sumber daya manusia (SDM) untuk keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang akan menghasilkan lulusan terbaik. Perguruan tinggi islam sebuah tingkatan pendidikan formal yang yang berbeda cara berfikirnya setelah pendidikan tingkat atas bersikap ilmuah serta berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai social (Islamic Value). Nilai-nilai inilah yang diharapkan dapat ikut menuntut dan menjadi pedoman mahasiswa untuk berprilaku sehari-hari baik di dalam kampus maupun di luar kampus menjadi pencetak manusia yang beradab. Dalam hal ini perguruan tinggi akan bercorak dengan karakteristik perguruan tinggi bilamana sebuah perguruan tinggi islam menonjolkan dua sisi pengetahuan dan nilai-nilai agama sehingga tidak keluar dari visi dan misi pendidikan islam itu sendiri.[22]
Permasalahan mendasar bagi dunia pendidikan adalah bagaimana menyiapkan generasinya yang cerdas dan memiliki karakter yang kuat untuk membangun bangsanya ke arah yang lebih baik. Sejalan dengan Rencana Strategis Kemendiknas 2010-2014 yang telah mencanangkan visi penerapan pendidikan karakter (Kemendiknas, 2010a), maka diperlukan kerja keras semua pihak, terutama di lembaga-lembaga pendidikan formal, termasuk lembaga pendidikan di Perguruan Tinggi. Di Perguruan Tinggi, Pendidikan karakter merupakan tahapan pembentukan karakter yang tidak kalah pentingnya dari pembentukan karakter pada tahapan pendidikan sebelumnya, yaitu di lingkungan keluarga dan di lingkungan tingkat sekolah. Oleh sebab itu, semestinya setiap Perguruan Tinggi memiliki pola pembentukan karakter mahasiswa sesuai dengan visi, misi, dan karakteristik Perguruan Tinggi masing-masing.[23]
Pendidikan karakter di Perguruan Tinggi perlu dirancang secara utuh. Saat mahasiswa baru memasuki wilayah kampusnya sebagai mahasiswa, di setiap fakultas, jurusan-jurusan, di berbagai aktivitas atau kegiatan organisasi baik intra maupun ekstra kampus, semua kegiatannya harus dirancang sedemikian rupa secara utuh untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh masing-masing Perguruan Tinggi. Dalam pendidikan karakter di Perguruan Tinggi, semua komponen harus dilibatkan secara optimal, komponen penyelenggara dan tenaga kependidikan seperti pimpinan Rektor, Dekan, Ketua Jurusan, dosen dan karyawan, kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata kuliah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan baik intra maupun ekstra kampus, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh civitas akademika dan lingkungan Perguruan Tinggi secara bersinergis harus saling mendukung terselenggaranya pendidikan karakter dengan baik.[24]
Sebuah perguruan tinggi baru akan bermakna tinggi dan berkarakter manakala semua civitas akademika yang ada mampu menjadikan nilai-nilai luhur yang baik dan membaikan yang berakhlak mulia, cakap, percaya diri sendiri berguna bagi masyarakat dan Negara serta beramal menuju terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT serta berjiwa amar makruf nahi munkar selalu melekat dalam pikiran, perkataan, tindakan, kebiasaan yang menjadikan ciri khas atau karakter yang super dalam budaya perguruan tinggi. Dengan nilai-nilai agama yang kembangkan akan berimplikasi selama menjadi mahasiswa dan bekal kelak setelah menjadi alumni.[25] Salah satu upaya dalam menciptakan perguruan tinggi berkarakter adalah mendesain perguruan tinggi dengan pendidikan al-insaniyah islami yang lebih adaptik yakni mencipkan insane yang agamis dan berbudaya.[26]
Dalam membangun insan islami itu menitik beratkan totaliatas pribadi muslim secara utuh dengan pendekan prespektif al- Quran dan hadits. Dengan materi pendidikan al- Insan Islamiyah akan memberikan kesempatan kepada peserta didik bersifat aktif dan dinamis lewat tuntunan Ilahiyah, sehingga keberadaannya mampu mengantarkan sebagai ilmuan muslim yang bertanggungjawab dan islami.[27]
Untuk mendapatkan output (hasil) yaitu mahasiswa yang berkarakter, secara umum ada tiga komponen berpengaruh yang perlu diperhatikan, yaitu:
a.    Raw input (bahan mentah); yaitu siswa input (masukan) yang diterima sebagai mahasiswa. Selektif tidaknya terhadap kualitas siswa input yang diterima akan berpengaruh terhadap kualitas output (keluaran/hasil).
b.    Environment (lingkungan). Kondusif atau mendukung dan tidaknya lingkungan pendidikan mempengaruhi kualitas hasil yang diharapkan.
c.    Instrument (alat). Termasuk dalam kelompok instrument atau alat diantaranya adalah: Tenaga pendidik atau dosen, kurikulum, materi, metode dan media pembelajaran, dan lain-lain.
Dari ketiga buah komponen yang mempengaruhi kualitas hasil yang diharapkan, dalam hal ini terciptanya mahasiswa yang berkarakter, raw input, yaitu siswa sebagai masukan atau bahan mentah yang akan diproses dalam lembaga pendidikan, dalam hal ini tidak dibicarakan, sebab merupakan komponen yang sudah jadi yang diperoleh dari hasil olahan atau pembentukan dari lembaga pendidikan sebelumnya.[28]

D.    Konstruksi Ta’dib dalam pendidikan karakter di PTAI
Istilah perguruan tinggi pada umumnya diartikan sebagai lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan formal pada jenjang di atas pendidikan menengah atas, namun bila di tambahkan dengan kata “Islam” sehingga menjadi “Perguruan Tinggi islam” diperlukan  kerangka penjelas (construct)  agar lebih khusus di dalamnya tercakup konteks pembatasan. Construct yang ditawarkan bagi perguruan tinggi islam adalah perguruan tinggi yang diprakarsai dan dikelola oleh umat islam namun keinginan mengejawentahkan nilai-nilai keislaman.[29]
Ta’dib adalah konsep pendidikan Islam yang digagas oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang bertujuan mencetak manusia beradab, menciptakan manusia beradab dalam arti yang komprehensif. Pengertian konsep ini dibangun dari makna kata dasar adaba  dan derivasinya. Makna addaba dan derivasinya,bila maknanya dikaitkan satu sama lain, akan menunjukkan pengertian pendidikan yang integrative. Di antara makna-makna tersebut adalah, kesopanan, keramahan, dan kehalusan budi pekerti.[30] Makna ini identik dengan akhlak. Makna ini hampir sama dengan definisi yang diberikan al-Jurjani, yakni ta’dib adalah proses memperoleh ilmu pengetahuan (ma’rifah) yang dipelajari untuk mencegah belajar dari bentuk kesalahan. Menurut al-Attas, tantangan terbesar yang dihadapi dunia muslim kontemporer adalah kesalahan dibidang ilmu. Hal tersebut mengakibatkan hilangnya adab (the loss of adab). Kehilangan adab di sini maksudnya kehilangan identitas, identitas ilmu-ilmu keislaman dan identitas ilmuan muslim.
Manusia peranannya “khalifah” diberi amanat sebagai pemakmur alam semesta, oleh karena itu dalam pelaksanaan peran  maupun tugasnya manusia dituntut untuk aktif, kreatif, dan dinamis. Konsekwensinya manusia harus mempertanggungjawabkan semua aktifitasnya di hadapan Allah Swt dan memunaikan keadilan terhadap dirinya dan orang lain dalam masyarakat menuju kesempurnaan manusia yang beradab (insan adabi) . Orang yang beradab adalah orang yang menempatkan dirinya dengan benar, menerapkan keilmuan kepada objeknya secara adil dan mampu mengidentifikasi serta memilah pengetahuan-pengetahuan (ma’rifah) yang salah. Jadi manusia yang beradab adalah manusia yang mengerti tanggung jawabnya sebagai jiwa yang pernah mengikat  janji dengan Allah SWT (primordial covenant) sebagai jiwa yang bertauhid[31], Apapun profesi manusia beradab, ikatan janji itu akan selalu diaplikasikan dalam setiap aktifitasnya.
Dapat dipahami bahwa dalam melaksanakan amanat yang diberikan allah SWT, manusia harus menggunakan akalnya bagi kemaslahatan manusia itu sendiri  serta makhluk Allah secara serasi dan seimbang (adil) untuk menyingkap rahasia alam semesta dengan akalnya untuk mendapatkan kebaikan. Untuk merealisaikannya itu dapat ditempuh  dengan pendidikan, dengan media ini diharapkan manusia dapat mengembangkan akal yang diberikan kepadanya untuk kebaikan dunia dan akhirat[32].
Secara emplisit konsep ta’dib yang dirumuskan dan digunakan al-Attas memberikan konstribusi yang cukup signifikan, bila konsep ini diterapkan dalam proses pendidikan khususnya  di tingkat perguruan tinggi islam di Indonesia. Karena konsep ta’dib tersebut berimplikasi terhadap tugas, tanggung jawab dan karakteristik profesional seorang pendidik sebagai salah satu unsur penting dalam pelaksanaan proses pendidikan. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa adab dalam konsep ta’dib pendisiplinan  jiwa dan pikiran. Konsep ini menunjukkan pendidikan intelektual, spiritual dan sosial bagi semua manusia dan ta’dib ini merupakan aktivitas yang bertujuan memproduksi suatu karakter yang bersumber dari sikap moral. Maka seorang pendidik dalam konsep ta’dib ini harus dapat mencerminkan karakteristik dan kepribadian yang luhur dalam setiap sendi kehidupannya, sehingga ia mampu menjadi teladan atau panutan yang akan ditiru oleh peserta didiknya.[33]
Problem yang melanda pendidikan Islam dan intelektual muslim tersebut dikarenakan dua sebab, eksternal dan internal. Sebab eksternal dikarenakan oleh tantangan hegemoni Barat dalam bidang budaya, sosial, politik dan agama. Sedangkan penyebab internal tampak dalam tiga bentuk fenomena yang saling berhubungan, yaitu kekeliruan dan kesalahan dalam memahami ilmu beserta aplikasinya, ketiadaan adab, dan munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak layak memikul tanggung jawab dengan benar di segala bidang.[34]
Secara esensial, ketiadaan adab akan memicu munculnya segala bentuk sofisme. Yakni, timbulnya kebingungan dalam bidang ilmu yang hal ini menyebabkan rusaknya tatanan moral dan pendidikan suatu masyarakat. khususnya di peguruan tinggi dari ilmu-ilmu modern yang telah terbaratkan (westernized) yang ilmu konsepnya dibangun oleh ilmuwan barat sekuler yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan tanpa adanya filter. Karena westernisasi tersebut dibangun bukan atas wahyu dan kepercayaan agama, proses ilmiah rasionalitas.[35] Akibatnya ilmu pengetahuan dan nilai-nilai moral diatur oleh rasio manusia yang berubah terus menerus yang membingungkan. Kebingungan umat islam  dalam semua level kehidupan akibat mengadopsi westernisasi dalam kehidupannya terutama dalam pendidikan. Kebingungan yang yang terakumulasi pada keretakan nilai-nilai keislaman dipertajam dengan dualism dunia pendidikan. yang mana seharusnya dikorelasikan untuk mengembangkan ilmu yang hakiki membangunkan pemikiran dan pribadi muslim dan keimanannya kepada Allah.[36]
 Kebingungan dalam bidang ilmu berarti rusaknya suatu ilmu Kebingungan intelektual dan rusaknya ilmu ini juga berarti loss of identity (kehilangan identitas). Hilangnya identitas seorang saintis muslim ini adalah, hilangnya karakter ilmuan muslim. Yang tidak bisa membedakan lagi sains Islam dan sains Barat-sekuler, dan tidak  memperhatikan lagi adab terhadap ilmu pengetahuan. Adab kepada ilmu, akan berpengaruh besar terhadap adab kepada objek-objek yang lainnya. Menurut al-Attas intelektual yang beradab kepada ilmu akan mengenal dan mengakui bahwa seorang berilmu kedudukannya lebih luhur dan mulia dan ilmu-ilmu  fardlu ‘ain dan syari’ah harus dikuasai terlebih dahulu sebelum ilmu-ilmu yang lainnya. Adab seperti ini akan menghasilkan metode yang tepat dalam memeperoleh ilmu, serta menerapakan sains dalam pelbagai bidang dengan benar.[37] Ilmu yang benar diperoleh dengan cara yang benar hendaknya digunakan secara tepat, maka penerapan yang tepat ini akan berimplikasi positif terhadap perlakuan ilmuan terhadap dirinya, lingkungan sosial, hubungan antar sesama manusia, dan kepada Tuhannya, atau terhadapa aspek-aspek lainnya.
Sebuah bentuk bangunan pendidikan di Perguruan Tinggi Agama Islam berbasis karakter, yang menghasilkan lulusan-lulusan mahasiswa yang beradab, bermoral, beretika sosial dan bermartabat sesuai dengan tuntunan agama, maka konsep yang harus dibangun dalam pendidikan islam itu harus memerhatikan:
1.   Kualitas hubungan antara “aktor” lingkungan di Perguruan Tinggi dengan para mahasiswa. Aktor lingkungan di Perguruan Tinggi yang dimaksud di sini adalah para pimpinan (seperti Rektor, Dekan, Ketua Jurusan, dan lain-lain), para dosen, dan para karyawan. Hubungan yang dimaksud di sini adalah hubungan sosial yang berkarakter, berakhlak mulia, hubungan yang didasarkan pada nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari ajaran agama, misalnya; yang lebih tua menyayangi yang muda, yang muda menghormati yang tua, saling menyapa, menyebar senyum dan menebarkan salam, menjauhkan prasangka buruk dan membiasakan berfikir positif terhadap orang lain.
2.     Iklim atau suasana kampus yang tercipta dalam lingkungan tempat berlangsungnya berbagai aktivitas. Lingkungan dapat mempengaruhi tingkah laku manusia. Untuk membangun karakter yang dikehendaki, maka merupakan keharusan untuk mengkondisikan lingkungan dan suasana yang kondusif/mendukung sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Penciptaan kondisi (conditioning), seperti suasana religius yang dapat mendorong terbangunnya karakter mahasiswa harus diciptakan dan dilakukan secara berkesinambungan, keteladanan, pembiasaan nilai-nilai dan perilaku yang baik seperti: Kejujuran, sopan santun, disiplin, empati, dan sebagainya harus disosialisasikan melalui berbagai media kampus, dan dicontohkan atau dilaksanakan secara serius, terutama oleh para penyelenggara kampus, bahkan, jika memungkinkan diikuti pula oleh pemberian reward (penghargaan) terhadap yang konsisten melaksanakannya.
3.      Komponen instrument (alat) diantaranya adalah:
a.       Tenaga kependidikan atau dosen.
Dari sisi tenaga kependidikan, khususnya dosen, di samping dapat digolongkan sebagai aktor lingkungan, dirinya juga dapat dikategorikan sebagai alat pendidikan karena merupakan role model atau panutan bagi para mahasiswa.
b.      Dari aspek kurikulum dan materi,
Pendidikan karakter dapat diposisikan sebagai mata kuliah tersendiri, dapat pula diintegrasikan ke dalam pembelajaran pada setiap mata perkuliahan. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan moral, etika, akhlak, norma atau nilai-nilai pada setiap mata perkuliahan perlu dikembangkan, dijabarkan, dan dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Sehingga, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak berada hanya di tataran kognitif, tetapi menyentuh pula aspek penghayatan, dan pengamalan nyata dalam kehidupan sehari-hari para mahasiswa di lingkungan masyarakat.
 c.     Aktifitas kemahasiswaan
Berbagai aktivitas atau kegiatan yang diselenggarakan oleh para mahasiswa maupun oleh penyelenggara kampus dapat membantu mahasiswa berkembang sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka masing-masing. Melalui kegiatan tersebut, diharapkan pula dapat berkembangnya karakter mahasiswa seperti kemampuan berinteraksi dengan baik, jujur, disiplin, memiliki tanggung jawab sosial, empati, menghargai orang lain, dan sebagainya.[38]


E.     Kesimpulan dan saran
  1. Kesimpulan
Pendidikan islam dewasa ini harus dibangun pola dasar dalam penciptaan manusia yang beradab, penciptaan manusia yang beradab itu dilakukan dengan pendidikan. Dalam konteks pendidikan tinggi agama islam sebagai induk yang melahirkan generasi penerus perjuangan islam dalam keilmuan pendidikan islam, harus dibangun sebuah konsep pendidikan yang berperilaku, bermoral islami. Dalam sistem pendidikan yang ada harus menekankan karakter manusia yang beradab, maka penulis dari paparan diatas yang dapat dilakukan dalam membangun perguruan tinggi yang berkarakter islami adalah menggunakan konsep ta’dib sebagai karakter perguruan tinggi agama islam.
Konsep ta’dib  al-Attas yang akan diimplementasikan dalam sebuah pendidikan untuk memberikan kontribusi gagasan pendidikan islam sekarang ini yang akan menguasai ilmu-ilmu secara integral dan berkarakteristik islami secara integral.  Memperlakukan objek-objek tersebut sesuai dengan aturan, wajar dan tujuan terakhirnya adalah kedekatan spiritual kepada Tuhan.adab adab yang dikaitkan dengan syari’at dan Tauhid. Manusia yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Hak, memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya dan orang lain dalam masyarakat, berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab (insane adabi).
Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, khususnya di Perguruan Tinggi, jika dilihat dari kurikulum, materi dan implementasinya dalam pendidikan dan pembelajaran di Perguruan Tinggi, maka tujuan pendidikan khususnya dalam membangun karakter peserta didik (mahasiswa) sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Namun permasalahannya adalah, pendidikan karakter di Perguruan Tinggi selama ini sebagian besar baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Disamping itu, pendidikan karakter di perguruan tinggi juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan dan dilaksanakan secara utuh dan berkesinambungan yang tertuang dalam berbagai kegiatan atau aktivitas pendidikan dan pembelajaran. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi; nilai-nilai karakter apa saja yang perlu ditanamkan, apa saja muatan kurikulumnya, bagaimana proses pembelajarannya. Selanjutnya, didukung pula oleh alat dan lingkungan yang mendukung oleh para pimpinan, dosen, karyawan, dan komponen-komponen lainnya yang terkait dengan nilai-nilai islami.

    1. 2.     Saran
Begitu kompleksnya dunia pendidikan dan hal didalamnya guna membentuk pelajar (mahasiswa) khusunya di Perguruan Tinggi Islam guna mencetak generasi manuasia yang berkarakter terhadap Ilmu pengetahuan, pribadi, masyarakat dan alam sekitar dalam perguruan tinggi, seiring rencana pemerintah dalam membangun pendidikan karakter. Maka saran penulis konsep pendidikan karakter di Perguruan Tinggi Islam saat ini konsep pendidikan berbasis ta’dib sebagaimana yang di gagas Syed Naquib al-Attas dalam menciptakan manusia yang adabi.




DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Ahmad Naim, dkk., Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta, Jendela,  2003,
Al- Attas, S.M.N., Konsep Pendidikan Dalam Islam : Suatu Kerangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam(terj), Bandung, Mizan, 1987
Al-Attas , Syed Muhammad Naqueb., Kosep Pendidikan Dalam Islam, Suatu Rangka Pikir Pembimbing Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, Mizan,  1988
__________Prolegomena to the Metafhysics of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview Islam , Kuala Lumpur, ISTAC, 1995
________ Islam dan Sekularisme, (Terj), Bandung, Mizaan 1998
________Islam dan Filsafat Sains, Bandung, Mizaan 1998
Al-Albani, Abu Abdurrahman Muhammad Nashiruddin. 1413 H. Shahih AdabulMufrad (e-book). Oman: Maktabah Albani
Al-Faruqi Ismail, Islamisasi Ilmu pengetahuan, Lontar utama, jakarta, 2000.
Al-Kaysi, Marwan Ibrahim,  Petunjuk Praktis Akhlak Islam, Jakarta, Lentera, 2003
Daulany, Haidar Putra, Pendidikan Islam Dalam Mencerdaskan Bangsa, Jakarta, Rineka Cipta, 2012
Fadjar. A. Malik, Reorientasi Pendidikan Islam, Cipayung, YPI Fajar Dunia, 1999. Hidayat Ma’ruf, M. Pd, Dr., Membangun Mahasiswa Yang Berkarakter, makalah pembukaan kuliah semester ganjil tahun akademik 2012/2013 di Auditorium IAIN Antasari Banjarmasin. Rabu, 5 September 2012.
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam Di Indonesia, Ciputat, PT. Logos Wacana Ilmu, 2001, hal
Imam Bawani & Isa Anshori, Cendekiawan Muslim Dalam Prespektif Pendidikan Islam, Surabaya, PT Bina Ilmu, 1991.
Kemas badarudddin, Filsafat Pendidikan Islam (Analisis Pemikiran Prof. Dr. Syed Naquib Al-Attas), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009.
Kemendiknas, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Badan Penelitian dan  Pengembangan Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Kepala Pusat Kurikulum , 2010
Malik fadjar, A. Reorientsi pendidikan islam, cipayung, Fajar dunia, 1999.
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum, Hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan, Bandung, Nuansa, 2003.
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, jakarta gaya media pratama, 2001.
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Islam, Syed M.N. Al Attas (Terj), Bandung, Mizan, 2003.



[1] Mahasiswa STAIINDO Jakarta, makalah ini disampaikan dalam acara lomba karya Ilmiah Kopertais wil. I DKI Jakarta 26-27 September 2012 di Hotel Mars Cipayung Bogor.
[2]Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum, Hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan, Bandung, Nuansa, 2003. Hal. 330
[3] Abdullah Ahmad Naim, dkk., Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta, Jendela,  2003,hal. 338
[4] Dimyati, Khudzaifah. 2008. Pengantar Redaksi dalam Jurnal Penelitian Humaniora. Vol. 9. No. 1 Februari 2008.
[5] Fadjar. A. Malik, Reorientasi Pendidikan Islam, Cipayung, YPI Fajar Dunia, 1999. Hal. 35
[6]Kemas badarudddin, Filsafat Pendidikan Islam (Analisis Pemikiran Prof. Dr. Syed Naquib Al-Attas), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009,
[7] Pendidikan integral adalah pendidikan yang tidak berdasarkan metode dikotomis yang membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum , al-attas sepakat dengan imam al-ghzali yang membagi ilmu secara hirarkis , yaitu fadlu ain dan fadli kifayah.  Al- Attas, S.M.N., Konsep Pendidikan Dalam Islam : Suatu Kerangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam(terj), Bandung, Mizan, 1987, hal 90.
[8] HR. Al- Bukhari, dalam Al-Albani No. 119, hal 207/273.
[9] Hasan Langgulung, Prof. Dr., Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta, PT Pustaka al-Husna, 2003. Hal 276
[10] Kemendiknas. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014: Rancangan RPJMN tahun 2010-2014. Jakarta, Biro Perencanaan Setjen Kemendiknas, 2010

[11] Depdiknas, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. 2007, (Edisi III, Cetakan kelima)
[12] Suyanto, Urgensi Pendidikan Karakter, Jakarta, Ditjen Dikdasmen, Kementerian Pendidikan Nasional. 2010
[13] Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan  Akhlak, (terj), Bandung, Mizan, 1994, Hal 56
[14] Ibid. hal 58
[15] Ibid,..
[16]Kemendiknas, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Badan Penelitian dan Pengembangan Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Kepala Pusat Kurikulum , 2010, hal 3
[17] Ibid, 59
[18] Al-Kaysi, Marwan Ibrahim,  Petunjuk Praktis Akhlak Islam, Jakarta, Lentera, 2003. Hal 23.
[19] Ibid, Hal. 70
[20] Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001, hal. 26.
[21] Menurut Zakiah Daradjat :” Ilmu pengetahuan sebagai akhir tujuan pendidikan islam , bahwasanya ilmu mengandung tata hubungan anatara pengetahuan, kebenaran, dan pendidikan, tata hubungan antara makhluk dan khalik-Nya. Karena itupendidikan membantu keseimbangan pribadi manusia melalui latihan jiwa , intelek, rasio, rasa, serta kepekaan indera untuk selalu mengabdi kepada Allah. Lihat..Imam Bawani & Isa Anshori, Cendekiawan Muslim Dalam Prespektif Pendidikan Islam” hal 86.
[22]Majalah Mingguan Tempo, 20 Mei 2007
[23]Kemendiknas, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Badan Penelitian dan  Pengembangan Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Kepala Pusat Kurikulum , 2010
[24] Hidayat Ma’ruf, M. Pd, Dr., Membangun Mahasiswa Yang Berkarakter, makalah pembukaan kuliah semester ganjil tahun akademik 2012/2013 di Auditorium IAIN Antasari Banjarmasin. Rabu, 5 September 2012, hal 7-8.
[25] http://www.koranpendidikan.com/view/1653/budaya-perguruan-tinggi-yang-berkarakter.html
[26] Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001, hal 167.
[27] Ibid, hal 169.
[28] Hidayat Ma’ruf, M. Pd, Dr., Membangun Mahasiswa Yang Berkarakter,ibid, hal 9
[29] Malik Fadjar, A. Reorientsi Pendidikan Islam, Cipayung, Fajar dunia, 1999, hal. 97
[30] Kemas Badaruddin,Filsafat Pendidikan, Analisis Pemikiran Syed M.N. Al-Attas Jogjakarta:Pustaka Pelajar, 2009, hal. 59
[31] Q.S. Al-a’araf: 172 :”dalam ayat ini menjelaskan secara naluriah manusi mengakui adanya tuhan. Ia teelah berikrar dalam alam mitsaq (alam ruh) bahwa Allah SWT adalah tuhannya. Realism instink mengakui diluar diri ada zat yang maha kuasa untuk tunduk dan patuh kepadanya. Namun pengenalan dan pengabdian yang dilakuakan manusia kepaada tuhannnya  sebatas akal budi manusia. Untuk itu Allah menurunkan wahyu  yang dibawa rasulnya sebagai rasa kasih saayang(rahmah) Allah kepada manusia untuk dapat melaksanakan pengabdian sesuai aturan yan dikehendaki Allah”.
[32] Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, jakarta gaya media pratama, 2001, hal. 67.
[33] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Islam, Syed M.N. Al Attas (Terj), Bandung, Mizan, 2003Hal 172
[34] Ibid, hal.198
[35] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam And Sekularisme, (terj), Bandung, Mizan, hal 41
[36] Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001, hal. 26
[37] Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam dan Filsafat Sains hal 178-179
[38] Hidayat Ma’ruf, M. Pd, Dr., Membangun Mahasiswa Yang Berkarakter,  hal 10-13