Konstruksi Pendidikan Karakter Di Perguruan Tinggi
Agama Islam
(Sebuah
Konstribusi Konsep Ta’dib Menurut Syed Naquib Al-Attas)
Oleh : Edi Purwanto[1]
A. Pendahuluan
Apa yang terjadi dalam dunia islam ?, Apa yang
menyebabkan kemunduran umat islam?, langkah apa yang dapat membangkitkan keterpurukan yang melanda dunia islam.
Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi kegelisahan para ulama dan cendekiawan muslim
dunia. Dalam upaya merumuskan apa yang dapat dilakukan oleh para ulama dan
cendekiawan muslim terlahirlah sebuah konferensi organisasi pendidikan islam yang
diprakarsai oleh King Abdul Aziz University Mekah pada bulan maret 1977. Dalam
pertemuan ini para pemikir islam mencoba belajar, menganalisa permasalahan
pendidikan islam dan melahirkan sebuah metode yang akan diimplementasikan dalam
pendidikan islam, serta pembenahan dan penyempurnaan sistem pendidikan islam di
seluruh dunia yang terjadi akibat salah satunya adanya dikotomi system
pendidikan islam dan sekuler .[2]
Pergeseran nilai pendidikan dalam islam dewasa ini
menjadi boomerang dalam dunia pendidikan islam khususnya dalam akademik
perguruan tinggi. Individu muslim yang seharusnya beretika, dan bermoral kini
telah mengalami demoralisasi atas apa yang dilahirkan dari pendidikan. Moral
atau adab sebagai cerminan kaum intelektual dan agamis semakin merosot dalam
masyarakat kita, bagaimana seorang menghargai kepada yang lebih tua, anak didik
menghargai pendidiknya, dan bagaimana pengambilan sebuah ilmu dalam dunia pendidikan.
Dalam pandangan ini, salah satu tokoh pemikir islam Syed Naquib al-Attas
berpendapat bahwa kepribadian muslim yang sudah tergeser oleh warna corak dan
budaya peradaban barat. Apa yang telah disebarkan oleh barat adalah pengetahuan
yang disajikan dan dibawakan itu berupa pengetahuan yang semu yang dilebur
secara halus dan sejati , sehingga manusia mengambilnya dengan cara tidak sadar
seakan menerima pengetahuan yang sejati tanpa diseleksi terlebih dahulu[3].
Menurut Dimyati, bangsa Indonesia
akhir-akhir ini mengalami patologi (penyakit) sosial yang kronis. Sebagian
masyarakatnya tercerabut dari peradaban ketimuran yang terkenal dengan wataknya
yang santun, toleran, bermoral, dan beragama. Tindak kekerasan, korupsi,
manipulasi, konflik, tingginya kenakalan dan kurangnya sikap sopan santun para
remaja, berbohong, menyontek, dan aktivitas negatif lainnya sudah mulai menjadi
hal yang biasa dalam masyarakat, termasuk pula dalam lembaga-lembaga pendidikan
di Indonesia.[4]
Penyebab terjadinya dekadensi moral seperti
yang disebutkan di atas, antara lain disebabkan pendidikan karakter bangsa yang
masih “amburadul”, diperparah lagi oleh kurangnya perhatian para pendidik
terhadap pendidikan dan perkembangan karakter peserta didik. Pendidikan di
Indonesia saat ini lebih mengedepankan penguasaan aspek keilmuan ketimbang
aspek pendidikan dan pembinaan karakter. Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang
didapatkan dalam pendidikan karakter, moral atau etika di lembaga-lembaga
pendidikan saat ini agak terabaikan.
Pendidikan islam dalam perguruan tinggi seakan-akan
telah kehilangan akar karakternya sebagi sebuah lembaga yang menghasilkan
ilmuan-ilmuan lulusan yang berkarakter. Bersamaan itu pendidikan karakter
menjadi sorotan masyarakat sebagai cara pandang sebuah bangsa dan Negara.
Pendidikan karakter yang dicanagngkan oleh pemerintah yang dikemas dalam dunia
pendidikan mencoba menciptakan potensi berbudaya dan membudayakan alam
lingkungan, manusia kerajaan dunia yang
makmur, dinamis, harmonis dan lestari. Pada hakekatnya karakter berfungsi mengembangkan kemampuan, membentuk
watak serta peradaban yang bermartabat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa[5].
Maka seluruh sistem pendidikan harus diarahkan
kepada konseptual filosofis yang di arahkan berkaitan seputar manusia,
individu yang bijak yang mengakui dan mengenali tata tertib realitas segala
sesuatu termasuk posisi tuhan dalam realitas , sehingga hasilnya mereka akan
selalu beramal sesuai kaidah itu sendiri.[6]langkah
apa yang harus dilakukan lembaga pendidikan dalam krisis ini?
Untuk
menjawab tantangan krisis ilmu di era globalisasi tersebut, maka al-Attas
menggagas islamisasi pengetahuan yang mana pendidikan islam harus mampu
mencetak manusia yang beradab. Konsep ta’dib al-Attas yang akan diimplementasikan dalam
sebuah pendidikan untuk memberikan kontribusi gagasan pendidikan islam sekarang
ini yang akan menguasai ilmu-ilmu secara integral dan berkarakteristik islami.[7]
B. Pendidikan Islam dalam Karakter
Dalam perspektif Islam, karakter
(akhlak) menjadi perhatian yang tinggi. Dalam hadits di sebutkan “Sesungguhnya
aku diutus (menjadi Rasul) semata mata untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”,[8]
diutusnya Rasulullah Muhammad Saw antara lain adalah untuk memberangus perilaku
jahilliyyah umat manusia, membangun peradaban manusia dengan karakter atau
akhlak yang mulia. Tingakah laku dalam al Quran dan hadist lebih menekankan
perbuatan yang digerakkan oleh kerangka moral ( akhlak) tertentu, dengn
kata lain pandangan al Quran dan hadits
terhadap tingkah laku (behavior) yang telah diberi persyaratan (conditioned)
nilai-nilai tertentu, bukan tingkahlaku tingkat rendah yang ditentukan oleh
pengaruh lingkungan tetapi telah dididik
dan dibudayakan dengan nilai-nilai (values)[9].
Di negara Indonesia, Pembangunan
karakter merupakan perwujudan amanat Pancasila dan Pembukaan UUD 1945,
dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan yang berkembang saat ini,
diantaranya: Bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa; ancaman disintegrasi
bangsa; dan melemahnya kemandirian bangsa. Untuk itu, Pemerintah menjadikan
pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional.
Semangat itu secara implisit ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2015, di mana pendidikan karakter
ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu
mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan
beradab berdasarkan falsafah Pancasila.[10]
Pembangunan karakter generasi bangsa
menjadi tujuan Pendidikan Nasional, sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang
RI No. 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan nasional
adalah sebagai berikut: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung-jawab. Dengan demikian, jelas
bahwa pendidikan di Indonesia pada hakekatnya adalah mengembangkan potensi diri
peserta didik menjadi mampu dengan dilandasi keimanan dan ketaqwaan,
kepribadian, akhlak mulia, dan kemandirian. Oleh karena itu, lembaga
pendidikan, termasuk Perguruan Tinggi
mempunyai peran yang strategis dalam membangun karakter peserta didik agar
menjadi generasi bangsa yang unggul dan berkarakter.
Kata karakter berarti: Bawaan, hati,
jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat,
temperamen, watak.[11] Dari
sisi terminologi, istilah karakter didefinisikan dengan berbagai formulasi
kalimat yang berbeda-beda, namun substansinya hampir sama. Salah satu definisi
karakter adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Suyanto yang menyatakan bahwa
karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap
individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat,
bangsa dan Negara.[12]
Karakter
merupakan sebuah keadaan jiwa, keadaan jiwa yang bertindak tanpa dipikir atau
dipertimbangkan. Keadaan yang bersifat alamiah maupun kebiasaan, misalnya orang
mudah marah karena suatu hal yang kecil. Beberapa cendekiawan mengatakan bahwa
karakter itu bersifat alami yang dapat berubah cepat atau lambat melalui
disiplin serta nasihat-nasihat mulia. Sebagian berpendapat bahwa karakter itu
tidak alami bagi manusia, pendapat ini menyebabkan tidak berlakunya fakultas
nalar, tertolaknya semua bentuk norma dan bimbingan kecenderungan tunduknya
manusia kepada kekejaman dan kelalaian, serta banyaknya anak dan remaja
berkembang liar tanpa nasihat dan pendidikan.[13]
Menurut
pandangan Galen dari sisi alami manusia ada yang baik, ada yang buruk dan adaya
yang tengah-tengah. Dalam hal ini manusia secara alami baik menjadi buruk
karena pengaruh ajaran, maka manusia dipengaruhi dari dalam dirinya sendiri,
atau orang lain yang mengajarkan keburukan. Kalau begitu tidak secara alami
manusiaitu baik. Sebaliknya alami
manusia buruk menjadi baik berarti dlam dirinya ada kecondongan kepada
kejahatan saja, sehingga secara alami bermoral buruk, karena hal ini nalar
keburukan mengalahkan kebaikan manusia yang membuat manusia secara alami buruk.[14]
Aristoteles
dalam bukunya Book On Ethics mengatakan
orang buruk bisa menjadi baik melalui pendidikan. Namun tidak pasti, bahwa nasihat yang berulang ulang dan disiplin
serta bimbingan yang baik akan melahirkan hasil yang berbeda-beda pada manusia.
Ada sebagian yang tanggap dan menerimanya, ada sebagian juga tanggap namun
tidak menerimanya.[15]
Dalam proses secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya,
melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai yang menjadi
kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan
masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang
bermartabat.[16]
Dari
penjelasan di atas perlunya pendidikan, manfaatnya dan pengaruhnya bagi remaja
dan anak-anak dari syariat yang benar sebagai petunjuk Allah kepada
makhluk-Nya. Tingakatan perbaikan karakter dalam bahasa arab (akhlak atau adab) ini dari tingkatan manusia-manusia yang baik, buruk tergantung
dari tingkatan manusia dalam menerima tatanan moral. Tingkatan kondisi,
kesiapan dan penerapannya seperti anak-anak tidak menutup-nutupi dengan sengaja
dan sadar seperti ynag dilakukan orang dewasa, ada yang lunak ada yang keras
dan sulit sehinga mereka mengikuti apa yang menjadi tabiatnya.
Melihat
faktor diatas yang dapat meluruskan karakter remaja adalah dengan syariat
agama, syariat yang mengajarkan manusia untuk senantiasa berperilaku baik, kearifan,
kebajikan, dan mencapai kebahagiaan melalui berfikir dan nalar yang akurat.
Karakter yang mengajarkan kearah pembinaan tingkah laku manusia baik sesuai
adab islam.[17]
Adab islam yang merupakan sebuah aturan yang mencakup semua aspek perilaku
manusia yang integral melengkapii satu samalainnya dalam bagian-bagian Islam.
Salah satu aspek adabul islam adalah
moralitas, suatu pondasi kepercayaan diri dan bangsa. Sebagaimana yang
kita yakini korupsi dan immoralitas merupakan penyebab utama keruntuhan dan
disintegrasi bangsa.[18]
Begitu juga kekosongan
nilai-nilai relegius akan mengakibatkan manusia bebas kendali dan berbuat
sekehendaknya, yang berimplikasi tumbuhnya nilai egoistis , sombong, dan angkuh
dalam diri manusia dan berakibat menjadi cikal bakal mafsadah di muka bumi.[19]
Dewasa
ini pendidikan umat islam telah dipengaruhi berbagai etika budaya barat dan
timur yang membingungkan menjadi boomerang terciptanya dismoralitas dan
ketidakaturan kehidupan umat, Hal ini disebabkan pendidikan islam tidak lagi memiliki
wawasan islam yang dinamis. Oleh karena itu sistem pendidikan islam harus
kembali pada ruh nilai-nilai ilahiyah sebagai sistem moral dan kepribadian
pendidikan islam.[20]
Pendidikan
karakter sebagai upaya pengembangan pendidikan agar peserta didik mengenal
dan menerima nilai-nilai budaya dan
karakter bangsa sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang
diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan
pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri.
Dengan prinsip ini, peserta didik belajar melalui proses berpikir, bersikap,
dan berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan
peserta didik dalam melakukan kegiatan sosial dan mendorong peserta didik untuk
melihat diri sendiri sebagai makhluk sosial.
Di Indonesia,
dimana agama diajarkan di sekolah-sekolah negeri maupun swasta, kelihatannya
pendidikan moral masih belum berhasil dilihat dari tingkat kejahatan dan
demoralisasi masyarakat yang tampak meningkat pada periode ini. Dilihat dari
esensinya seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama, tampaknya
agama diajarkan pada dasar-dasar agama yang bersifat verbal, sementara akhlak
atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum sepenuhnya disampaikan. Dilihat dari
metode pendidikan pun tampaknya terjadi kelemahan karena metode pendidikan yang
disampaikan difokuskan pada pendekatan otak kiri (kognitif), yaitu hanya
mewajibkan peserta didik untuk mengetahui dan menghafal konsep dan kebenaran
tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya.
Selain itu tidak dilakukan praktek
perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di
sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran
moral bagi peserta didik. Karena itu tidaklah aneh jika dijumpai banyak sekali
ketidakonsistenan antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang diterapkan
anak di luar sekolah.[21]
C.
Perguruan Tinggi
Islam Berkarakter
Perguruan tinggi islam sebagaimana institusi pendidikan pada umumnya
adalah sebuah investasi besar memiliki nilai strategis didalam membentuk dan
mengembangkaan sumber daya manusia (SDM) untuk keberlanjutan kehidupan
berbangsa dan bernegara, yang akan menghasilkan lulusan terbaik. Perguruan
tinggi islam sebuah tingkatan pendidikan formal yang yang berbeda cara
berfikirnya setelah pendidikan tingkat atas bersikap ilmuah serta berperilaku
yang sesuai dengan nilai-nilai social (Islamic Value). Nilai-nilai inilah
yang diharapkan dapat ikut menuntut dan menjadi pedoman mahasiswa untuk
berprilaku sehari-hari baik di dalam kampus maupun di luar kampus menjadi
pencetak manusia yang beradab. Dalam hal ini perguruan tinggi akan bercorak
dengan karakteristik perguruan tinggi bilamana sebuah perguruan tinggi islam
menonjolkan dua sisi pengetahuan dan nilai-nilai agama sehingga tidak keluar
dari visi dan misi pendidikan islam itu sendiri.[22]
Permasalahan mendasar bagi dunia
pendidikan adalah bagaimana menyiapkan generasinya yang cerdas dan memiliki
karakter yang kuat untuk membangun bangsanya ke arah yang lebih baik. Sejalan
dengan Rencana Strategis Kemendiknas 2010-2014 yang telah mencanangkan visi
penerapan pendidikan karakter (Kemendiknas, 2010a), maka diperlukan kerja keras
semua pihak, terutama di lembaga-lembaga pendidikan formal, termasuk lembaga
pendidikan di Perguruan Tinggi. Di Perguruan Tinggi, Pendidikan karakter
merupakan tahapan pembentukan karakter yang tidak kalah pentingnya dari
pembentukan karakter pada tahapan pendidikan sebelumnya, yaitu di lingkungan
keluarga dan di lingkungan tingkat sekolah. Oleh sebab itu, semestinya setiap
Perguruan Tinggi memiliki pola pembentukan karakter mahasiswa sesuai dengan
visi, misi, dan karakteristik Perguruan Tinggi masing-masing.[23]
Pendidikan karakter di Perguruan Tinggi
perlu dirancang secara utuh. Saat mahasiswa baru memasuki wilayah kampusnya
sebagai mahasiswa, di setiap fakultas, jurusan-jurusan, di berbagai aktivitas
atau kegiatan organisasi baik intra maupun ekstra kampus, semua kegiatannya
harus dirancang sedemikian rupa secara utuh untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan oleh masing-masing Perguruan Tinggi. Dalam pendidikan karakter di
Perguruan Tinggi, semua komponen harus dilibatkan secara optimal, komponen
penyelenggara dan tenaga kependidikan seperti pimpinan Rektor, Dekan, Ketua
Jurusan, dosen dan karyawan, kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian,
kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata kuliah, pelaksanaan
aktivitas atau kegiatan baik intra maupun ekstra kampus, pemberdayaan sarana
prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh civitas akademika dan lingkungan
Perguruan Tinggi secara bersinergis harus saling mendukung terselenggaranya
pendidikan karakter dengan baik.[24]
Sebuah perguruan tinggi baru akan bermakna tinggi
dan berkarakter manakala semua civitas akademika yang ada mampu menjadikan
nilai-nilai luhur yang baik dan membaikan yang berakhlak mulia, cakap, percaya
diri sendiri berguna bagi masyarakat dan Negara serta beramal menuju terwujudnya
masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT serta berjiwa amar
makruf nahi munkar selalu melekat dalam pikiran, perkataan, tindakan, kebiasaan
yang menjadikan ciri khas atau karakter yang super dalam budaya perguruan
tinggi. Dengan nilai-nilai agama yang kembangkan akan berimplikasi selama
menjadi mahasiswa dan bekal kelak setelah menjadi alumni.[25]
Salah satu upaya dalam menciptakan perguruan tinggi berkarakter adalah
mendesain perguruan tinggi dengan pendidikan al-insaniyah islami yang lebih
adaptik yakni mencipkan insane yang agamis dan berbudaya.[26]
Dalam membangun insan islami itu menitik beratkan
totaliatas pribadi muslim secara utuh dengan pendekan prespektif al- Quran dan
hadits. Dengan materi pendidikan al-
Insan Islamiyah akan memberikan kesempatan kepada peserta didik bersifat
aktif dan dinamis lewat tuntunan Ilahiyah,
sehingga keberadaannya mampu mengantarkan sebagai ilmuan muslim yang
bertanggungjawab dan islami.[27]
Untuk
mendapatkan output (hasil) yaitu mahasiswa yang berkarakter, secara umum
ada tiga komponen berpengaruh yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Raw input (bahan
mentah); yaitu siswa input (masukan) yang diterima sebagai mahasiswa. Selektif
tidaknya terhadap kualitas siswa input yang diterima akan berpengaruh
terhadap kualitas output (keluaran/hasil).
b. Environment (lingkungan).
Kondusif atau mendukung dan tidaknya lingkungan pendidikan mempengaruhi
kualitas hasil yang diharapkan.
c. Instrument (alat).
Termasuk dalam kelompok instrument atau alat diantaranya adalah: Tenaga
pendidik atau dosen, kurikulum, materi, metode dan media pembelajaran, dan
lain-lain.
Dari
ketiga buah komponen yang mempengaruhi kualitas hasil yang diharapkan, dalam
hal ini terciptanya mahasiswa yang berkarakter, raw input, yaitu siswa
sebagai masukan atau bahan mentah yang akan diproses dalam lembaga pendidikan,
dalam hal ini tidak dibicarakan, sebab merupakan komponen yang sudah jadi yang
diperoleh dari hasil olahan atau pembentukan dari lembaga pendidikan sebelumnya.[28]
D.
Konstruksi Ta’dib dalam pendidikan karakter di PTAI
Istilah perguruan tinggi pada umumnya
diartikan sebagai lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan formal
pada jenjang di atas pendidikan menengah atas, namun bila di tambahkan dengan
kata “Islam” sehingga menjadi “Perguruan Tinggi islam” diperlukan kerangka penjelas (construct) agar lebih
khusus di dalamnya tercakup konteks pembatasan. Construct yang ditawarkan bagi perguruan tinggi islam adalah
perguruan tinggi yang diprakarsai dan dikelola oleh umat islam namun keinginan
mengejawentahkan nilai-nilai keislaman.[29]
Ta’dib adalah konsep pendidikan Islam yang digagas
oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang bertujuan mencetak manusia beradab, menciptakan
manusia beradab dalam arti yang komprehensif. Pengertian
konsep ini dibangun dari makna kata dasar adaba dan derivasinya. Makna addaba dan
derivasinya,bila maknanya dikaitkan satu sama lain, akan menunjukkan pengertian
pendidikan yang integrative. Di antara makna-makna tersebut adalah, kesopanan,
keramahan, dan kehalusan budi pekerti.[30] Makna ini identik dengan
akhlak. Makna ini hampir sama dengan definisi yang diberikan al-Jurjani, yakni ta’dib
adalah proses memperoleh ilmu pengetahuan (ma’rifah) yang dipelajari
untuk mencegah belajar dari bentuk kesalahan. Menurut al-Attas,
tantangan terbesar yang dihadapi dunia muslim kontemporer adalah kesalahan
dibidang ilmu. Hal tersebut mengakibatkan hilangnya adab (the
loss of adab).
Kehilangan adab di sini maksudnya kehilangan identitas, identitas ilmu-ilmu
keislaman dan identitas ilmuan muslim.
Manusia peranannya “khalifah” diberi amanat sebagai pemakmur alam semesta, oleh karena
itu dalam pelaksanaan peran maupun
tugasnya manusia dituntut untuk aktif, kreatif, dan dinamis. Konsekwensinya
manusia harus mempertanggungjawabkan semua aktifitasnya di hadapan Allah Swt
dan memunaikan keadilan terhadap dirinya dan orang lain dalam masyarakat menuju
kesempurnaan manusia yang beradab (insan
adabi) . Orang yang beradab adalah orang yang menempatkan dirinya dengan
benar, menerapkan keilmuan kepada objeknya secara adil dan mampu
mengidentifikasi serta memilah pengetahuan-pengetahuan (ma’rifah) yang salah. Jadi manusia yang beradab adalah manusia
yang mengerti tanggung jawabnya sebagai jiwa yang pernah mengikat janji dengan Allah SWT (primordial covenant) sebagai jiwa yang bertauhid[31],
Apapun profesi manusia beradab, ikatan janji itu akan selalu diaplikasikan
dalam setiap aktifitasnya.
Dapat dipahami bahwa dalam melaksanakan
amanat yang diberikan allah SWT, manusia harus menggunakan akalnya bagi
kemaslahatan manusia itu sendiri serta
makhluk Allah secara serasi dan seimbang (adil) untuk menyingkap rahasia alam
semesta dengan akalnya untuk mendapatkan kebaikan. Untuk merealisaikannya itu
dapat ditempuh dengan pendidikan, dengan
media ini diharapkan manusia dapat mengembangkan akal yang diberikan kepadanya
untuk kebaikan dunia dan akhirat[32].
Secara
emplisit konsep ta’dib yang dirumuskan dan digunakan al-Attas memberikan
konstribusi yang cukup signifikan, bila konsep ini diterapkan dalam proses
pendidikan khususnya di tingkat
perguruan tinggi islam di Indonesia. Karena konsep ta’dib tersebut berimplikasi
terhadap tugas, tanggung jawab dan karakteristik profesional seorang pendidik
sebagai salah satu unsur penting dalam pelaksanaan proses pendidikan.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa adab dalam konsep ta’dib
pendisiplinan jiwa dan pikiran. Konsep
ini menunjukkan pendidikan intelektual, spiritual dan sosial bagi semua manusia
dan ta’dib ini merupakan aktivitas yang bertujuan memproduksi suatu karakter
yang bersumber dari sikap moral. Maka seorang pendidik dalam konsep ta’dib ini harus dapat mencerminkan
karakteristik dan kepribadian yang luhur dalam setiap sendi kehidupannya,
sehingga ia mampu menjadi teladan atau panutan yang akan ditiru oleh peserta
didiknya.[33]
Problem yang melanda pendidikan Islam dan intelektual muslim
tersebut dikarenakan dua sebab, eksternal dan internal. Sebab eksternal
dikarenakan oleh tantangan hegemoni Barat dalam bidang budaya, sosial, politik
dan agama. Sedangkan penyebab internal tampak dalam tiga bentuk fenomena yang
saling berhubungan, yaitu kekeliruan dan kesalahan dalam memahami ilmu beserta
aplikasinya, ketiadaan adab, dan munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak layak
memikul tanggung jawab dengan benar di segala bidang.[34]
Secara esensial, ketiadaan adab akan memicu munculnya
segala bentuk sofisme. Yakni, timbulnya kebingungan dalam bidang ilmu yang hal
ini menyebabkan rusaknya tatanan moral dan pendidikan suatu masyarakat. khususnya di peguruan tinggi
dari ilmu-ilmu modern yang telah terbaratkan (westernized) yang ilmu
konsepnya dibangun oleh ilmuwan barat sekuler yang sudah tercemar yang
menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan tanpa adanya filter. Karena westernisasi
tersebut dibangun bukan atas wahyu dan kepercayaan agama, proses ilmiah
rasionalitas.[35]
Akibatnya ilmu pengetahuan dan nilai-nilai moral diatur oleh rasio manusia yang
berubah terus menerus yang membingungkan. Kebingungan umat islam dalam semua level kehidupan akibat mengadopsi
westernisasi dalam kehidupannya terutama dalam pendidikan. Kebingungan yang
yang terakumulasi pada keretakan nilai-nilai keislaman dipertajam dengan
dualism dunia pendidikan. yang mana seharusnya dikorelasikan untuk mengembangkan
ilmu yang hakiki membangunkan pemikiran dan pribadi muslim dan keimanannya
kepada Allah.[36]
Kebingungan dalam
bidang ilmu berarti rusaknya suatu ilmu Kebingungan intelektual dan rusaknya ilmu
ini juga berarti loss of identity (kehilangan identitas). Hilangnya
identitas seorang saintis muslim ini adalah, hilangnya karakter ilmuan muslim.
Yang tidak bisa membedakan lagi sains Islam dan sains Barat-sekuler, dan tidak memperhatikan lagi adab terhadap ilmu
pengetahuan. Adab kepada ilmu, akan berpengaruh besar
terhadap adab kepada objek-objek yang lainnya. Menurut al-Attas intelektual
yang beradab kepada ilmu akan mengenal dan mengakui bahwa seorang berilmu kedudukannya
lebih luhur dan mulia dan ilmu-ilmu fardlu ‘ain dan syari’ah harus dikuasai terlebih dahulu sebelum ilmu-ilmu yang
lainnya. Adab seperti ini akan menghasilkan metode yang tepat dalam memeperoleh
ilmu, serta menerapakan sains dalam pelbagai bidang dengan benar.[37] Ilmu yang benar
diperoleh dengan cara yang benar hendaknya digunakan secara tepat, maka penerapan
yang tepat ini akan berimplikasi positif terhadap perlakuan ilmuan terhadap
dirinya, lingkungan sosial, hubungan antar sesama manusia, dan kepada Tuhannya,
atau terhadapa aspek-aspek lainnya.
Sebuah
bentuk bangunan pendidikan di Perguruan Tinggi Agama Islam berbasis karakter,
yang menghasilkan lulusan-lulusan mahasiswa yang beradab, bermoral, beretika
sosial dan bermartabat sesuai dengan tuntunan agama, maka konsep yang harus
dibangun dalam pendidikan islam itu harus memerhatikan:
1. Kualitas hubungan antara “aktor”
lingkungan di Perguruan Tinggi dengan para mahasiswa. Aktor lingkungan di
Perguruan Tinggi yang dimaksud di sini adalah para pimpinan (seperti Rektor,
Dekan, Ketua Jurusan, dan lain-lain), para dosen, dan para karyawan. Hubungan
yang dimaksud di sini adalah hubungan sosial yang berkarakter, berakhlak mulia,
hubungan yang didasarkan pada nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari ajaran
agama, misalnya; yang lebih tua menyayangi yang muda, yang muda menghormati
yang tua, saling menyapa, menyebar senyum dan menebarkan salam, menjauhkan
prasangka buruk dan membiasakan berfikir positif terhadap orang lain.
2. Iklim atau suasana kampus yang tercipta
dalam lingkungan tempat berlangsungnya berbagai aktivitas. Lingkungan dapat
mempengaruhi tingkah laku manusia. Untuk membangun karakter yang dikehendaki,
maka merupakan keharusan untuk mengkondisikan lingkungan dan suasana yang
kondusif/mendukung sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Penciptaan kondisi (conditioning),
seperti suasana religius yang dapat mendorong terbangunnya karakter mahasiswa
harus diciptakan dan dilakukan secara berkesinambungan, keteladanan, pembiasaan
nilai-nilai dan perilaku yang baik seperti: Kejujuran, sopan santun, disiplin,
empati, dan sebagainya harus disosialisasikan melalui berbagai media kampus,
dan dicontohkan atau dilaksanakan secara serius, terutama oleh para
penyelenggara kampus, bahkan, jika memungkinkan diikuti pula oleh pemberian reward
(penghargaan) terhadap yang konsisten melaksanakannya.
3. Komponen instrument (alat) diantaranya
adalah:
a. Tenaga kependidikan atau dosen.
Dari sisi tenaga kependidikan, khususnya dosen, di
samping dapat digolongkan sebagai aktor lingkungan, dirinya juga dapat
dikategorikan sebagai alat pendidikan karena merupakan role model atau panutan
bagi para mahasiswa.
b. Dari aspek kurikulum dan materi,
Pendidikan karakter
dapat diposisikan sebagai mata kuliah tersendiri, dapat pula diintegrasikan ke
dalam pembelajaran pada setiap mata perkuliahan. Materi pembelajaran yang
berkaitan dengan moral, etika, akhlak, norma atau nilai-nilai pada setiap mata
perkuliahan perlu dikembangkan, dijabarkan, dan dikaitkan dengan konteks
kehidupan sehari-hari. Sehingga, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak berada
hanya di tataran kognitif, tetapi menyentuh pula aspek penghayatan, dan
pengamalan nyata dalam kehidupan sehari-hari para mahasiswa di lingkungan
masyarakat.
c. Aktifitas kemahasiswaan
Berbagai aktivitas atau kegiatan yang
diselenggarakan oleh para mahasiswa maupun oleh penyelenggara kampus dapat
membantu mahasiswa berkembang sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan
minat mereka masing-masing. Melalui kegiatan tersebut, diharapkan pula dapat
berkembangnya karakter mahasiswa seperti kemampuan berinteraksi dengan baik,
jujur, disiplin, memiliki tanggung jawab sosial, empati, menghargai orang lain,
dan sebagainya.[38]
E.
Kesimpulan dan saran
- Kesimpulan
Pendidikan
islam dewasa ini harus dibangun pola dasar dalam penciptaan manusia yang
beradab, penciptaan manusia yang beradab itu dilakukan dengan pendidikan. Dalam
konteks pendidikan tinggi agama islam sebagai induk yang melahirkan generasi
penerus perjuangan islam dalam keilmuan pendidikan islam, harus dibangun sebuah
konsep pendidikan yang berperilaku, bermoral islami. Dalam sistem pendidikan
yang ada harus menekankan karakter manusia yang beradab, maka penulis dari
paparan diatas yang dapat dilakukan dalam membangun perguruan tinggi yang
berkarakter islami adalah menggunakan konsep ta’dib sebagai karakter perguruan
tinggi agama islam.
Konsep ta’dib al-Attas yang akan diimplementasikan dalam
sebuah pendidikan untuk memberikan kontribusi gagasan pendidikan islam sekarang
ini yang akan menguasai ilmu-ilmu secara integral dan berkarakteristik islami
secara integral. Memperlakukan objek-objek tersebut sesuai dengan aturan, wajar dan
tujuan terakhirnya adalah kedekatan spiritual kepada Tuhan.adab adab yang
dikaitkan dengan syari’at dan Tauhid. Manusia yang menyadari sepenuhnya
tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Hak, memahami dan menunaikan keadilan
terhadap dirinya dan orang lain dalam masyarakat, berupaya meningkatkan setiap
aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab (insane
adabi).
Terlepas dari
berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, khususnya di
Perguruan Tinggi, jika dilihat dari kurikulum, materi dan implementasinya dalam
pendidikan dan pembelajaran di Perguruan Tinggi, maka tujuan pendidikan
khususnya dalam membangun karakter peserta didik (mahasiswa) sebenarnya dapat
dicapai dengan baik. Namun permasalahannya adalah, pendidikan karakter di
Perguruan Tinggi selama ini sebagian besar baru menyentuh pada tingkatan
pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan
tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Disamping itu, pendidikan karakter
di perguruan tinggi juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan.
Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan dan
dilaksanakan secara utuh dan berkesinambungan yang tertuang dalam berbagai
kegiatan atau aktivitas pendidikan dan pembelajaran. Pengelolaan tersebut antara
lain meliputi; nilai-nilai karakter apa saja yang perlu ditanamkan, apa saja
muatan kurikulumnya, bagaimana proses pembelajarannya. Selanjutnya, didukung
pula oleh alat dan lingkungan yang mendukung oleh para pimpinan, dosen,
karyawan, dan komponen-komponen lainnya yang terkait dengan nilai-nilai islami.
- 2. Saran
Begitu
kompleksnya
dunia pendidikan dan hal didalamnya guna membentuk pelajar (mahasiswa) khusunya
di Perguruan Tinggi Islam guna mencetak generasi manuasia yang berkarakter
terhadap Ilmu pengetahuan, pribadi, masyarakat dan alam sekitar dalam perguruan
tinggi, seiring rencana pemerintah dalam membangun pendidikan karakter. Maka
saran penulis konsep pendidikan karakter di Perguruan Tinggi Islam saat ini
konsep pendidikan berbasis ta’dib sebagaimana yang di gagas Syed Naquib
al-Attas dalam menciptakan manusia yang adabi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Ahmad Naim,
dkk., Pemikiran Islam Kontemporer,
Yogyakarta, Jendela, 2003,
Al-
Attas, S.M.N., Konsep Pendidikan Dalam
Islam : Suatu Kerangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam(terj),
Bandung, Mizan, 1987
Al-Attas
, Syed Muhammad Naqueb., Kosep Pendidikan Dalam Islam, Suatu Rangka
Pikir Pembimbing Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, Mizan, 1988
__________Prolegomena to the Metafhysics
of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview Islam , Kuala Lumpur,
ISTAC, 1995
________ Islam dan Sekularisme, (Terj), Bandung,
Mizaan 1998
________Islam
dan Filsafat Sains, Bandung, Mizaan 1998
Al-Albani, Abu
Abdurrahman Muhammad Nashiruddin. 1413 H. Shahih AdabulMufrad (e-book).
Oman: Maktabah Albani
Al-Faruqi Ismail, Islamisasi
Ilmu pengetahuan, Lontar utama, jakarta, 2000.
Al-Kaysi, Marwan
Ibrahim, Petunjuk Praktis Akhlak Islam, Jakarta, Lentera, 2003
Daulany, Haidar Putra, Pendidikan
Islam Dalam Mencerdaskan Bangsa, Jakarta, Rineka Cipta, 2012
Fadjar. A. Malik, Reorientasi Pendidikan Islam, Cipayung,
YPI Fajar Dunia, 1999. Hidayat Ma’ruf, M. Pd, Dr., Membangun Mahasiswa Yang
Berkarakter, makalah pembukaan kuliah semester ganjil tahun
akademik 2012/2013 di Auditorium IAIN Antasari Banjarmasin. Rabu, 5 September
2012.
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam Di Indonesia,
Ciputat, PT. Logos Wacana Ilmu, 2001, hal
Imam Bawani & Isa
Anshori, Cendekiawan Muslim Dalam Prespektif Pendidikan Islam, Surabaya,
PT Bina Ilmu, 1991.
Kemas badarudddin, Filsafat Pendidikan Islam (Analisis Pemikiran Prof. Dr. Syed Naquib
Al-Attas), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009.
Kemendiknas, Pengembangan
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Badan Penelitian dan Pengembangan Sekretaris Badan Penelitian dan
Pengembangan Kepala Pusat Kurikulum , 2010
Malik fadjar, A.
Reorientsi pendidikan islam, cipayung, Fajar dunia, 1999.
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam,
Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum, Hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan,
Bandung, Nuansa, 2003.
Samsul Nizar, Pengantar
Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, jakarta gaya media pratama, 2001.
Wan
Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik
Pendidikan Islam, Syed M.N. Al Attas (Terj), Bandung, Mizan, 2003.
[1] Mahasiswa STAIINDO Jakarta,
makalah ini disampaikan dalam acara lomba karya Ilmiah Kopertais wil. I DKI Jakarta
26-27 September 2012 di Hotel Mars Cipayung Bogor.
[2]Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam,
Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum, Hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan,
Bandung, Nuansa, 2003. Hal. 330
[3] Abdullah Ahmad Naim,
dkk., Pemikiran Islam Kontemporer,
Yogyakarta, Jendela, 2003,hal. 338
[4] Dimyati, Khudzaifah.
2008. Pengantar Redaksi dalam Jurnal Penelitian Humaniora. Vol. 9. No. 1
Februari 2008.
[5] Fadjar. A. Malik, Reorientasi Pendidikan Islam, Cipayung,
YPI Fajar Dunia, 1999. Hal. 35
[6]Kemas badarudddin, Filsafat Pendidikan Islam (Analisis Pemikiran Prof. Dr. Syed Naquib
Al-Attas), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009,
[7] Pendidikan integral
adalah pendidikan yang tidak berdasarkan metode dikotomis yang membedakan
antara ilmu agama dan ilmu umum , al-attas sepakat dengan imam al-ghzali yang
membagi ilmu secara hirarkis , yaitu fadlu ain dan fadli kifayah. Al- Attas, S.M.N., Konsep Pendidikan Dalam Islam : Suatu Kerangka Pikir Pembinaan Filsafat
Pendidikan Islam(terj), Bandung, Mizan, 1987, hal 90.
[8] HR.
Al- Bukhari, dalam Al-Albani No. 119, hal 207/273.
[9] Hasan Langgulung, Prof. Dr., Asas-asas Pendidikan Islam,
Jakarta, PT Pustaka al-Husna, 2003. Hal 276
[10] Kemendiknas. Rencana Strategis Departemen
Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014: Rancangan RPJMN tahun 2010-2014.
Jakarta, Biro Perencanaan Setjen Kemendiknas, 2010
[11]
Depdiknas, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka. 2007, (Edisi III, Cetakan kelima)
[12]
Suyanto, Urgensi Pendidikan Karakter,
Jakarta, Ditjen Dikdasmen, Kementerian Pendidikan Nasional. 2010
[13] Ibn Miskawaih, Menuju
Kesempurnaan Akhlak, (terj),
Bandung, Mizan, 1994, Hal 56
[14] Ibid. hal 58
[15] Ibid,..
[16]Kemendiknas,
Pengembangan
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Badan Penelitian dan
Pengembangan Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Kepala Pusat
Kurikulum , 2010, hal 3
[17] Ibid, 59
[18] Al-Kaysi, Marwan
Ibrahim, Petunjuk Praktis Akhlak Islam, Jakarta, Lentera, 2003. Hal 23.
[19] Ibid, Hal. 70
[20] Samsul Nizar, Pengantar
Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001,
hal. 26.
[21] Menurut Zakiah
Daradjat :” Ilmu pengetahuan sebagai akhir tujuan pendidikan islam , bahwasanya
ilmu mengandung tata hubungan anatara pengetahuan, kebenaran, dan pendidikan,
tata hubungan antara makhluk dan khalik-Nya. Karena itupendidikan membantu
keseimbangan pribadi manusia melalui latihan jiwa , intelek, rasio, rasa, serta
kepekaan indera untuk selalu mengabdi kepada Allah. Lihat..Imam Bawani &
Isa Anshori, Cendekiawan Muslim Dalam Prespektif Pendidikan Islam” hal 86.
[22]Majalah
Mingguan Tempo, 20 Mei 2007
[23]Kemendiknas, Pengembangan
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Badan Penelitian dan Pengembangan Sekretaris Badan Penelitian dan
Pengembangan Kepala Pusat Kurikulum , 2010
[24] Hidayat Ma’ruf, M.
Pd, Dr., Membangun Mahasiswa Yang Berkarakter, makalah pembukaan
kuliah semester ganjil tahun akademik 2012/2013 di Auditorium IAIN Antasari
Banjarmasin. Rabu, 5 September 2012, hal 7-8.
[25] http://www.koranpendidikan.com/view/1653/budaya-perguruan-tinggi-yang-berkarakter.html
[26] Samsul Nizar, Pengantar
Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001,
hal 167.
[27] Ibid, hal 169.
[28] Hidayat Ma’ruf, M.
Pd, Dr., Membangun Mahasiswa Yang Berkarakter,ibid, hal 9
[29] Malik Fadjar, A. Reorientsi Pendidikan Islam, Cipayung,
Fajar dunia, 1999, hal. 97
[30] Kemas Badaruddin,Filsafat Pendidikan,
Analisis Pemikiran Syed M.N. Al-Attas Jogjakarta:Pustaka Pelajar, 2009,
hal. 59
[31] Q.S. Al-a’araf: 172 :”dalam ayat ini menjelaskan secara naluriah
manusi mengakui adanya tuhan. Ia teelah berikrar dalam alam mitsaq (alam ruh) bahwa Allah SWT adalah
tuhannya. Realism instink mengakui diluar diri ada zat yang maha kuasa untuk
tunduk dan patuh kepadanya. Namun pengenalan dan pengabdian yang dilakuakan
manusia kepaada tuhannnya sebatas akal
budi manusia. Untuk itu Allah menurunkan wahyu
yang dibawa rasulnya sebagai rasa kasih saayang(rahmah) Allah kepada
manusia untuk dapat melaksanakan pengabdian sesuai aturan yan dikehendaki
Allah”.
[32] Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam,
jakarta gaya media pratama, 2001, hal. 67.
[33] Wan Mohd Nor Wan
Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Islam,
Syed M.N. Al Attas (Terj), Bandung, Mizan, 2003Hal 172
[36] Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar
Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001, hal. 26